12 April 2009

Woc 2009 - Manado 11 - 15 May 2009


WOC adalah pertemuan kelautan dunia yang akan dihadiri oleh sekitar 120 negara. Dalam konferensi kelautan berskala dunia ini, akan dibicarakan mengenai bagaimana laut berperan dalam mengatasi persoalan perubahan iklim. WOC memiliki beberapa target momentum khusus yang ingin dicapai.
Selain menuntaskan perencanaan CTI (Coral Triangle Initiatif), juga diharapkan mampu bersepakat terkait MOD (Manado Ocean Declaration).

CTI, atau Coral Triangle Initiative, Wilayah CT (Coral Triangle) merupakan kawasan berbentuk segitiga kaya sumber daya alam seluas 75.000 km2 melintasi enam negara atau disebut CT-6: Malaysia, Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Kawasan ini diyakini mengandung lebih dari 600 spesies terumbu karang atau 53% dari terumbu karang dunia, 3.000 spesies ikan, yang dipagari hutan mangrove terluas di dunia; dan tempat pemijahan tuna terbesar di dunia. Diperkirakan, perputaran ekonomi kawasan ini menghasilkan keuntungan senilai US$ 2,3 miliar per tahun.
Banyak harapan bagi kemajuan daerah kita jika World Ocean Conference (WOC) 11-15 Mei 2009 terlaksana dengan baik di Manado. Setidaknya, multiplayer efect setelah hajatan internasional ratusan negara -negara yang memiliki laut bersidang bisa berdampak positif bagi perkembangan daerah kita secara keseluruhan.Demikian, sejumlah pengamat menilai setelah presiden SBY menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) WOC..

”Dengan terbitnya Keputusan Presiden, WOC semakin memperkuat posisi daerah kita di mata nasional dan internasional. Tentunya, setelah itu, banyak manfaat bagi kemajuan Sulut. Saya yakin, setelah acara berskala internasional itu dilaksanakan, daerah kita pasti booming,”kata pengamat politik dan pemerintahan daerah Drs Paulus Sembel. Ir Jufry Suak politisi muda dan Ir James S Soleiman pengusaha muda menambahkan, terbitnya Keppres WOC ini patut disyukuri, karena perjuangan membawa Bumi Nyiur Melambai bangkit dari keterpurukan mulai nampak. Tentunya kata keduanya, harus dibarengi dengan perbaikan sejumlah infrastruktur penunjang WOC seperti jembatan Soekarno, jembatan Megawati, jalan lingkar (ring-road) Manado, jalan menuju Bandara Samratulangi berikut renovasi bandara, serta lokasi-lokasi pariwisata.

“Jangan hanya terpaku pada Bunaken, tapi semua potensi wisata harus dikembangkan seperti air berwarna di danau Linow Lahendong. Sebab di Indonesia mungkin saja hanya dua danau seperti ini, yakni danau Kalimutu dan Linow. Ini potensi yang belum dioptimalkan,”terang Suak dan Soleiman. Sekertaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sulut Drs Robby Mamuaja dalam kesempatan terpisah menambahkan, perbaikan sejumlah infrastruktur penunjang WOC sudah harus menjadi prioritas. Apalagi terangnya, terbitnya Keppres WOC ini dengan sendirinya banyak dana pusat akan dikucurkan. Sebab, panitianya melibatkan sejumlah menteri negara dan diback -up oleh Kabinet Indonesia Bersatu.

“Selain ditunjang dana pusat, tentunya daerah juga akan menganggarkannya sebagian dalam APBD, ini termasuk kabupaten dan kota se Sulut. Jadi semua infrastruktur penunjang diperbaiki. Yang pasti kita akan tampil sebaik mungkin karena ini membawa nama baik Indonesia dan khususnya Sulut,”katanya.

Diharapkannya, ada 3 hal yang perlu dilakukan sebagai wujud supporting masyarakat dalam iven internasional ini, yakni; jagalah keamanan dan ketertiban, kemudian berilah keramah-tamahan terhadap tamu, serta perhatikan kebersihan daerah kita. Bagaimana mungkin WOC sedang digelar di Manado sementara di Motoling ada orang baku potong. Ini menjadi citra yang baruk bagi Sulut sehingga jangan harap mereka akan kembali lagi dalam kunjungan wisata,” Gubernur Sarundajang pada setiap kesempatan.

Inisiatif Pemerintah Indonesia menyelenggarakan WOC (World Ocean Conference) dan CTI (Coral Triangle Initiative) pada tanggal 11-15 Mei di Manado, Sulawesi Utara, amat terkesan melindungi kepentingan negara-negara dan lembaga donor. Persoalan pokok lautan yang menjadi muara sedimentasi dan limbah industri, ‘surga’ bagi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, meluasnya degradasi ekosistem pesisir akibat industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai, serta dampak perubahan iklim yang kian terasa, terpinggir oleh hasrat ekonomis sesaat. Inilah awal keraguan WOC dan CTI mampu menyelesaikan substansi persoalan kelautan dunia.

Dalam 15 tahun terakhir, setidaknya 10 negara menjadi aktor utama praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia. Maraknya kejahatan perikanan ini akan berdampak pada ketidakberlanjutan sumber daya ikan.
Bahkan, bisa berujung pada krisis.

Di samping itu, perairan Indonesia juga menjadi ‘ladang subur’ bagi pembuangan limbah beracun industri tambang, minyak, dan gas. Dari Freeport dan Newmont, dua korporasi tambang emas raksasa Amerika Serikat, diketahui bahwa setiap harinya dibuang 340 ribu ton tailing.
Demikian pula dengan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir tiap tahun tumpahan minyak mentah (tarball).

Hal penting yang patut digarisbawahi, bahwa meluasnya degradasi ekosistem pesisir diakibatkan oleh industrialisasi pertambakan udang dan reklamasi pantai. Di balik itu, peran lembaga finansial global, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), inilah yang turut mendorong percepatan kerusakan ekosistem pesisir. Bentuk peran mereka adalah mendukung pelbagai upaya intensifikasi pertambakan pada era 1980-an.

Secara bertahap, hutan mangrove di Pulau Sulawesi dan Jawa telah dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari sekitar 4,2 juta hektar tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9 juta hektar dalam 3 tahun terakhir. Apalagi, sekitar 50% produksi udang Indonesia justru dimonopoli oleh satu korporasi trans-nasional, yakni Charoen Phokpand.


Pun demikian dengan reklamasi pantai yang dilakukan untuk membangun kawasan perniagaan dan permukiman mewah. Dari 4 proyek reklamasi pantai yang dilakukan, lebih dari 5 ribu ha ekosistem pesisir baik hutan mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam keberadaannya. Kini, lebih dari 10 proyek reklamasi pantai dilakukan secara masif di seluruh Indonesia. Ekosistem pesisir pun kian terancam dan teridentifikasi mengalami risiko kebencanaan.

Pada perkembangannya, sekitar 147 juta masyarakat pesisir, termasuk di antaranya 20 juta nelayan Indonesia hidup akrab dengan bencana dalam keseharian. Jutaan nelayan harus tergusur dari tempat hidupnya akibat perluasan kegiatan reklamasi dan industri, pencemaran laut, hingga proyek-proyek konservasi yang terbukti anti rakyat. Dalam hal keselamatan di laut, sepanjang Desember 2008-Maret 2009 saja, sedikitnya
43 orang meninggal dunia dan 386 orang dinyatakan hilang akibat gelombang laut yang kian sulit diperhitungkan.

Penyelenggaraan WOC, yang agenda utamanya adalah CTI dan Manado Ocean Declaration (MOD), diragukan akan mampu menjawab permasalahan di atas.
Agenda itu tak menagih tanggung jawab negara-negara dan lembaga-lembaga finansial yang terlibat dalam aktivitas memporak-porandakan laut Indonesia. Dapat dipastikan, upaya mengoptimalkan peran laut dalam menangani masalah perubahan iklim, yang menjadi tema utama WOC mustahil dapat terwujud.

Keterlibatan Amerika Serikat, Australia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Dunia, dalam inisiatif ini lebih cenderung bertujuan mengamankan kepentingan mereka untuk terus mencemari laut Indonesia, menguras sumber daya laut dan perikanannya, hingga meminggirkan masyarakat pesisir dan nelayan. Padahal, dana sebesar Rp44 miliar yang diambil dari APBN dan APBN Sulawesi Utara sudah digunakan untuk membiayai pelbagai persiapan jelang WOC. Di sela-sela itu, janji-janji palsu negara-negara dan lembaga donor belum terealisasi hingga kini.

Pemerintah harus menghentikan model diplomasi yang berisiko merugikan negara seperti ini. Olehnya, KIARA, WALHI, JATAM, Institut Hijau Indonesia, COMMIT, dan KAU menuntut:

Pertama, Pemerintah harus segera menyiapkan langkah-langkah diplomasi yang cerdas. Upaya ini diperlukan untuk menuntut dihentikannya praktek kejahatan perikanan di perairan Indonesia, khususnya Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar.
Selain itu, Indonesia juga patut menyuarakan pentingnya penerapan kebijakan anti IUU Fishing secara regional.

Kedua, semestinya, bersama negara-negara anggota CTI, Indonesia segera memulai pembicaraan dan negosiasi guna mengurangi produksi bahan tambang, sekaligus bersama-sama mendesak negara-negara asal industri tambang maupun negara-negara tujuan ekspor tambang, seperti Amerika Serikat dan Australia, agar segera mempraktekkan iktikad pertanggungjawaban untuk memulihkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di kawasan CT-6.

Ketiga, Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota CTI harus mendorong proses perundingan yang lebih adil berbasis penyelesaian akar masalah kelautan dan perubahan iklim, dengan segera keluar dari skema bisnis green washing Amerika Serikat dan Australia, dengan mendorong kedua negara tersebut untuk menurunkan emisi domestik secara signifikan sebesar 40% sebelum tahun 2020.

Keempat, Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota CTI harus menerapkan kebijakan domestik yang memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kelima, Pemerintah diminta untuk tidak menggunakan dana utang luar negeri untuk membiayai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, termasuk dalam rangkaian proyek CTI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

RavenClaw Official Profile † | Indonesia Tourism Info